Senin, 22 April 2013

antara trend gender dan keluarga


Antara trend Gender dan pengarusutamaan keluarga
Kasus perceraian beberapa selebritis yang menjadi icon pasangan sejati harmonis karena telah menjadi  pasangan suami istri selama kurang lebih dua puluh tahun telah menjadi berita yang mengemuka dalam beberapa pekan terakhir, dan hal itu setidaknya mewakili kondisi ironis  yang  tengah terjadi di masyarakat kini. Data yang diambil dari pengadilan agama  di seluruh Indonesia menyebutkan bahwa ada 346.446 pasangan yang bercerai pada tahun 2012. Disebutkan lebih lanjut  bahwa sepanjang tahun 2012  pengadilan agama termasuk mahkamah syariah menangani perkara 476.961 kasus. Perkara ini naik 11,52 persen dari tahun sebelumnya yakni 363.041 perkara. Ironisnya adalah dari jumlah keseluruhan perkara yang ditangani itu, paling banyak adalah gugat cerai yang dilayangkan istri sebanyak 238.666 atau 58,95 persen, sedangkan perceraian yang dilayangkan suami berupa cerai talak sebanyak 107.780 perkara (26,62 persen) atau setengah dari gugatan yang dilayangkan istri.
Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan data yang menyebutkan bahwa dari 2 juta pernikahan , perceraian terjadi sebanyak 285.184 perkara, adalah sebuah hal yang harus diantisipasi. Berdasarkan hasil analisa beberapa pakar disebutkan bahwa penyebab tingginya angka perceraian di Indonesia adalah:1)Mudahnya menjatuhkan cerai;2)Wanita yang mandiri secara ekonomi;3)Perkawinan paksa;4)persamaan gender;5)meningkatnya kesadaran hukum terhadap prosedur perceraian di pengadilan. Dari 5 alasan tersebut, ada 2 alasan yang menempatkan posisi wanita sebagai subjek penyebab perceraian, yakni meningkatnya kemandirian wanita secara ekonomi dan persamaan gender yang menempatkan posisi wanita berada sejajar dengan pria. Hal ini  menjadi indikasi bahwa pengarusutamaan gender telah teradopsi menjadi  sebuah pola berpikir bahkan telah termanifestasi menjadi sikap yang menjadi pilihan sebagian kaum wanita.
Pengarusutamaan gender yang dilatarbelakangi trend dan isu feminisme sebagai ideologi sebagaimana halnya kapitalisme dan sosialisme,  telah menempatkan posisi wanita sebagai kaum yang selayaknya menjadi kaum yang posisinya sama kuat dengan kaum lelaki.   Ideologi sekular-liberal sebagai pijakan kaum feminis  berpandangan bahwa perempuan adalah makhluk individual , dimana peran, prestasi dan kondisinya diukur secara individual. Feminisme merupakan sebuah ideologi yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kultur dan peradaban perempuan di muka bumi. Asal mula munculnya  ideologi ini  adalah adanya reaksi dari kondisi diskriminatif dan ketertindasan perempuan dalam peradaban matarialistik barat. Istilah gender sebagai turunan dari ideologi feminisme, memiliki lebih dari satu definisi yang valid. Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang dan implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di sebuah masyarakat.  Gender bisa merupakan peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).
Wacana Pengarusutamaan Gender yang kemudian menjelma di mana-mana menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen dan bermula dari kesadaran perempuan atau pembela hak-hak perempuan. Tapi hal tersebut lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”. Maka wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang kesetaraan gender.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal, wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun 1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak tahun 1911 M. Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI. Gerakan emansipasi perempuan di Indonesia mengalami perubahan orientasi dari sekedar menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia kebebasan pasca reformasi 1998.
Dilihat dari sudut pandang peningkatan kapasitas perempuan dalam peran-peran publik, maka isu kesetaraan gender adalah hal positif karena perempuan bukan lagi menjadi pihak yang termarginalkan karena kapasitasnya yang hanya berada di wilayah domestik, sebaliknya perempuan bisa meningkatkan kapasitas, potensi dan perannya secara luas di ranah publik.  Selain itu kesetaraan gender juga memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam segi hukum sehingga tidak ada lagi pelecehan hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak mendapatkan sanksi. Tetapi dilain pihak, pengarusutamaan gender tetap harus diwaspadai, meningat pengarusutamaan gender adalah isu yang sudah menglobal, bahkan PBB menjadi lembaga yang memberikan ruang yang lebar terhadap kebijakan-kebijakan dunia yang mengarah ke isu gender.  Hal ini dapat dilihat pada beberapa contoh isu gender yang didalamnya terselubung proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia, dan hal inilah yang harusnya diwaspadai apabila menjadi sebuah kepatutan yang tak lagi dikritisi.
Fenomena cara berpikir yang cenderung menyamakan posisi perempuan dan laki-laki sebagai posisi yang setara, yang menolak bahwa ada perbedaan dalam karakter dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dan pandangan  bahwa wanita tidak bisa menemukan jati dirinya kecuali keluar dari lingkaran keluarga memungkinkan terbukanya ruang yang lebar pada ketidakharmonisan keluarga yang merupakan salah satu penyebab perceraian. 
Menempatkan wanita pada posisi strategis di ranah publik yang berkorelasi dengan potensinya akan menjadi masalah jika wanita mengabaikan peran utamanya sebagai perempuan pendamping suami dan sebagai ibu bagi anak-anaknya, sebab peran ibu dalam urusan rumah tangga diberikan  sesuai dengan fungsi biologisnya. Hal ini berbeda apabila wanita  dengan sederet potensi berlebih yang  memungkinkannya berkarya dan berprestasi  gemilang di ruang publik tetap  menyeimbangkan posisinya sebagai istri pendamping suami dan ibu yang produktif di keluarganya , karena hal itu justru sebaliknya adalah merupakan prestasi.  Sebab peran perempuan dalam keluarga bukan peran yang akan memarginalkan permepuan tetapi justru akan melindungi fitrah perempuan.Termasuk peran mendidik anak dan memberikan keteladanan yang baik bagi anak,bukanlah sebuah peran yang tidak produktif dan merendahkan perempuan, justru peran tersebut adalah peran paling produktif untuk menghasilkan generasi berkulitas.
Meminimalisir pengarusutamaan gender yang membawa dampak negatif terhadap keutuhan sebuah  keluarga adalah dengan mengembalikan fungsi keluarga sebagai entitas sekaligus aset vital bagi sebuah bangsa. Keluarga perlu diayomi, ditingkatkan kapasitas serta kualitasnya. Pembentukan dan penjagaan keluarga adalah tanggung jawab bersama, yakni merupakan tanggung jawab dari unsur agama, unsur masyarakat termasuk LSM dan Ormas, serta peran pemerintah.
Keluarga  merupakan benih utama dalam pembangunan masyarakat ,  bahkan keluarga merupakan miniatur masyarakat dan bangsa. Kualitas sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas keluarga sebagai unit sosial terkecil masyarakat. Analisa sosial Ibnu khaldun menyebutkan bahwa komponen kelangsungan hidup masyarakat sepenuhnya bergantung pada seberapa besar nisbah keberadaan dan keterpaduan tugas yang harus dilakukan setiap anggota masyarakat, yang terdiri dari komponen-komponen keluarga, pengusaha, seniman, ulama, pendidik dan generasi muda.  Ibnu khaldun meletakkan aspek keluarga sebagai aspek pertama yang paling penting menopang komponen masyarakat lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga adalah cermin kecil model masyarakat dan negara. Akan tetapi, potret keluarga Indonesia saat ini masih memprihatinkan, dimana terjadi disintegrasi yang semakin meningkat, antara lain karena meningkatnya kasus perceraian.
Kondisi yang ditunjukkan tersebut menggambarkan tergerusnya nilai-nilai ketahanan dalam sebuah keluarga. Jika hal ini dibiarkan berlanjut tanpa upaya meminimalisir hal-hal yang bisa mengancam keutuhan sebuah keluarga maka dampaknya akan mengancam keutuhan masyarakat, mengingat keluarga sebagai unit sosial terkecil dari masyarakat. Implikasi lebih lanjut dari keadaan ini adalah terancamnya kualitas generasi bangsa ini. Fakta menunjukan bahwa ketika keluarga terancam keutuhannya, maka anak adalah anggota keluarga yang ikut merasakan dampaknya.  
Ketahanan keluarga yang lemah menjadi penyebab berbagai krisis keluarga seperti keretakan keluarga, eksploitasi seksual, penggunaan narkoba, eksploitasi ekonomi, bahkan pembunuhan pembunuhan anggota keluarga. Anak-anak sebagai pihak yang paling merasakan dampak krisis keluarga akan mengalami berbagai hambatan untuk tumbuh dan berkembang. anggota keluarga. Leslie (1967) mengatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai  sering hidup menderita, khususnya dalam hal keunagan, emosional, serta kehilangan rasa amandalam keluarga.Dampak perceraian yang lain adalah adanya rasa malu pada anak-anak yang orang tuanya bercerai. Mereka cenderung menjadi inferior dengan anak-anak lain.
Pemerintah , organisasi masyarakat dan anggota masyarakat sipil hendaknya berperan dalam mengembangkan program untuk ,merangsang dan mendorong langkah-langkah melestarikan dan mempertahankan institusi perkawinan. Dalam upaya pengokohan keluarga hendaknya keyakinan agama dan etika dijadikan pijakan dasar dalam setiap regulasi yang ditujukan untuk untuk menjaga stabilitas keluarga dan kemajuan sosial.
Berbagai keadaan di atas menunjukkan bahwa degradasi  kualitas dan disintegrasi keluarga berbanding lurus dengan degradasi kuaitas sosial masyarakat kita. Beberapa masalah sosial yang muncul terutama di perkotaan akhir-akhir ini, anatara lain meningkatkatnya konflik sosial, karakter kejahatan, prostitusi, anak jalanan dan endemiknya amuk massa telah menjadi sebuah masalah sosial yang mengancam ketenangan dan rasa tertib masyarakat secara luas. Hal ini menyadarkan kita, bahwa keluarga bukan sebuah perkara privat semata, namun juga menjadi masalah yang harus difasilitasi peningkatan kualitasnya oleh negara. Sehingga tidak berlebihan jika kita mengharapkan agar kebijakan publik yang dilahirkan di bangsa ini seharusnya berbasis keluarga, yakni menjadikan keluarga sebagai pertimbangan utama, sebab landasan pemikiran mengenai keluarga adalah landasan pemikiran yang bukan hanya berasal dari nilai-nilai budaya bangsa ataupun nilai-nilai islam yang secara khusus menjadi dasar pemikiran dalam pembinaan tatanan berkeluarga, tetapi landasan pemikiran yang sudah mendunia dengan mengacu pada Universal declaration of human rights (art.16.3 ;resolution 217a) yang kemudian dipertegas lagi pada deklarasi Doha di Qatar pada desember 2004 yakni bahwa Family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the state (keluarga adalah institusi sosial yang alamiah dan mendasar dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan negara).
Selain kebijakan publik yang berorientasi pada  keluarga, maka hendaknya program pembangunan bangsa  adalah program yang berorientasi pada keluarga berkualitas.Sebuah hal utopis jika pemerintah mengekspektasikan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju peradabannya di masa mendatang  tanpa memberikan perhatian pada perbaikan tatanan keluarga melalui program yang massif dan terstruktur. Sebab kokohnya tatanan keluarga akan berimplikasi pada peningkatan kualitas  generasi muda dimasa mendatang yang lahir dari unit sosial yang bernama keluarga. Sejauh ini , keluarga belumlah muncul sebagai sebuah nomenklatur dalam pembangunan dan belum menjadi sebuah leading sector dalam struktur pemerintahan. Maka menjadi sebuah kebutuhan jika di masa mendatang secara definitif keluarga mengemuka menjadi sebuah urusan pokok dalam pemerintahan agar dapat menjadi fondasi sosial bangsa dalam rangka pengembangan karakter manusia indonesia yang berkualitas.