Antara trend Gender dan pengarusutamaan keluarga
Kasus perceraian beberapa selebritis
yang menjadi icon pasangan sejati
harmonis karena telah menjadi pasangan
suami istri selama kurang lebih dua puluh tahun telah menjadi berita yang
mengemuka dalam beberapa pekan terakhir, dan hal itu setidaknya mewakili
kondisi ironis yang tengah terjadi di masyarakat kini. Data yang
diambil dari pengadilan agama di seluruh
Indonesia menyebutkan bahwa ada 346.446 pasangan yang bercerai pada tahun 2012.
Disebutkan lebih lanjut bahwa sepanjang
tahun 2012 pengadilan agama termasuk
mahkamah syariah menangani perkara 476.961 kasus. Perkara ini naik 11,52 persen
dari tahun sebelumnya yakni 363.041 perkara. Ironisnya adalah dari jumlah
keseluruhan perkara yang ditangani itu, paling banyak adalah gugat cerai yang
dilayangkan istri sebanyak 238.666 atau 58,95 persen, sedangkan perceraian yang
dilayangkan suami berupa cerai talak sebanyak 107.780 perkara (26,62 persen)
atau setengah dari gugatan yang dilayangkan istri.
Fakta-fakta yang
menunjukkan bahwa perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan data
yang menyebutkan bahwa dari 2 juta pernikahan , perceraian terjadi sebanyak
285.184 perkara, adalah sebuah hal yang harus diantisipasi. Berdasarkan hasil
analisa beberapa pakar disebutkan bahwa penyebab tingginya angka perceraian di
Indonesia adalah:1)Mudahnya menjatuhkan cerai;2)Wanita yang mandiri secara
ekonomi;3)Perkawinan paksa;4)persamaan gender;5)meningkatnya kesadaran hukum
terhadap prosedur perceraian di pengadilan. Dari 5 alasan tersebut, ada 2
alasan yang menempatkan posisi wanita sebagai subjek penyebab perceraian, yakni
meningkatnya kemandirian wanita secara ekonomi dan persamaan gender yang
menempatkan posisi wanita berada sejajar dengan pria. Hal ini menjadi indikasi bahwa pengarusutamaan gender
telah teradopsi menjadi sebuah pola
berpikir bahkan telah termanifestasi menjadi sikap yang menjadi pilihan
sebagian kaum wanita.
Pengarusutamaan gender yang
dilatarbelakangi trend dan isu feminisme sebagai ideologi sebagaimana halnya
kapitalisme dan sosialisme, telah
menempatkan posisi wanita sebagai kaum yang selayaknya menjadi kaum yang
posisinya sama kuat dengan kaum lelaki.
Ideologi sekular-liberal sebagai pijakan kaum feminis berpandangan bahwa perempuan adalah makhluk
individual , dimana peran, prestasi dan kondisinya diukur secara individual. Feminisme
merupakan sebuah ideologi yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kultur dan peradaban
perempuan di muka bumi. Asal mula munculnya
ideologi ini adalah adanya reaksi
dari kondisi diskriminatif dan ketertindasan perempuan dalam peradaban
matarialistik barat. Istilah gender
sebagai turunan dari ideologi feminisme, memiliki lebih dari satu definisi yang
valid. Dan tak bisa dipungkiri, peran-peran ini tentu memiliki sudut pandang
dan implementasi yang berbeda dari suatu komunitas masyarakat dengan masyarakat
yang lainnya. Biasanya merujuk pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku di
sebuah masyarakat. Gender bisa merupakan
peran-peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau
perempuan).
Wacana Pengarusutamaan Gender yang kemudian menjelma
di mana-mana menjadi perjuangan membela kesetaraan gender di berbagai sektor
kehidupan, tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen dan bermula dari
kesadaran perempuan atau pembela hak-hak perempuan. Tapi hal tersebut lebih
merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang. Di antaranya yang
paling mendasar adalah desakralisasi nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang
dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”.
Maka wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah
konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi
perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para
pejuang kesetaraan gender.
Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa
dilepaskan dari kisah emansipasi, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan
perjuangan meraih hak yang adil dan sejajar dengan laki-laki. Secara personal,
wacana emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA. Kartini
dengan istri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon antara tahun
1899-1904 M. Terbitan dalam Bahasa Belanda itu diberi judul ”Door Duisternis
tot Licht” (Habis Gelap Terbitlah Terang) dicetak sebanyak lima kali sejak
tahun 1911 M. Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara
berkelompok dan dalam Aisyiyah Muhammadiyah (1917 M), Fatayat NU (1950 M), dan
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) (1954 M) sebuah under bow PKI. Gerakan
emansipasi perempuan di Indonesia mengalami perubahan orientasi dari sekedar
menuntut hak pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang laik, menjadi sebuah arus
feminis. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara
kaum laki-laki dan perempuan. Gerakan ini pun berubah menjadi sangat liberal
dengan berkembangnya aliran liberal di Indonesia, terutama pasca euforia
kebebasan pasca reformasi 1998.
Dilihat dari
sudut pandang peningkatan kapasitas perempuan dalam peran-peran publik, maka
isu kesetaraan gender adalah hal positif karena perempuan bukan lagi menjadi
pihak yang termarginalkan karena kapasitasnya yang hanya berada di wilayah
domestik, sebaliknya perempuan bisa meningkatkan kapasitas, potensi dan
perannya secara luas di ranah publik. Selain
itu kesetaraan gender juga memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk
mendapatkan perlakuan yang sama dalam segi hukum sehingga tidak ada lagi
pelecehan hak perempuan dan kekerasan terhadap perempuan yang tidak mendapatkan
sanksi. Tetapi dilain pihak, pengarusutamaan gender tetap harus diwaspadai,
meningat pengarusutamaan gender adalah isu yang sudah menglobal, bahkan PBB
menjadi lembaga yang memberikan ruang yang lebar terhadap kebijakan-kebijakan
dunia yang mengarah ke isu gender. Hal
ini dapat dilihat pada beberapa contoh isu gender yang didalamnya terselubung
proteksi terhadap perilaku penyimpangan seksual, dengan dalih kebebasan
melakukan aktivitas seksual. Perilaku menyimpang tersebut kini sudah diakui di
PBB dengan tajuk besar kebebasan orientasi seksual. Dampaknya, sebuah
pernikahan tak lagi dibatasi hanya terjadi antara dua jenis manusia, tapi
memungkinkan untuk dilakukan dengan sesama jenis. Kriminalisasi terhadap
perilaku seksual seperti ini (homoseks dan lesbian) dianggap sebagai pengekangan
dan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia, dan hal inilah yang harusnya
diwaspadai apabila menjadi sebuah kepatutan yang tak lagi dikritisi.
Fenomena cara berpikir yang
cenderung menyamakan posisi perempuan dan laki-laki sebagai posisi yang setara,
yang menolak bahwa ada perbedaan dalam karakter dan fungsi antara laki-laki dan
perempuan dan pandangan bahwa wanita
tidak bisa menemukan jati dirinya kecuali keluar dari lingkaran keluarga memungkinkan
terbukanya ruang yang lebar pada ketidakharmonisan keluarga yang merupakan
salah satu penyebab perceraian.
Menempatkan wanita pada
posisi strategis di ranah publik yang berkorelasi dengan potensinya akan
menjadi masalah jika wanita mengabaikan peran utamanya sebagai perempuan
pendamping suami dan sebagai ibu bagi anak-anaknya, sebab peran ibu dalam
urusan rumah tangga diberikan sesuai
dengan fungsi biologisnya. Hal ini berbeda apabila wanita dengan sederet potensi berlebih yang memungkinkannya berkarya dan berprestasi gemilang di ruang publik tetap menyeimbangkan posisinya sebagai istri
pendamping suami dan ibu yang produktif di keluarganya , karena hal itu justru
sebaliknya adalah merupakan prestasi.
Sebab peran perempuan dalam keluarga bukan peran yang akan memarginalkan
permepuan tetapi justru akan melindungi fitrah perempuan.Termasuk peran
mendidik anak dan memberikan keteladanan yang baik bagi anak,bukanlah sebuah
peran yang tidak produktif dan merendahkan perempuan, justru peran tersebut
adalah peran paling produktif untuk menghasilkan generasi berkulitas.
Meminimalisir
pengarusutamaan gender yang membawa dampak negatif terhadap keutuhan
sebuah keluarga adalah dengan
mengembalikan fungsi keluarga sebagai entitas sekaligus aset vital bagi sebuah
bangsa. Keluarga perlu diayomi, ditingkatkan kapasitas serta kualitasnya.
Pembentukan dan penjagaan keluarga adalah tanggung jawab bersama, yakni
merupakan tanggung jawab dari unsur agama, unsur masyarakat termasuk LSM dan
Ormas, serta peran pemerintah.
Keluarga merupakan benih utama dalam pembangunan masyarakat
, bahkan keluarga merupakan miniatur
masyarakat dan bangsa. Kualitas sebuah bangsa sangat bergantung pada kualitas
keluarga sebagai unit sosial terkecil masyarakat. Analisa sosial Ibnu khaldun
menyebutkan bahwa komponen kelangsungan hidup masyarakat sepenuhnya bergantung pada
seberapa besar nisbah keberadaan dan keterpaduan tugas yang harus dilakukan
setiap anggota masyarakat, yang terdiri dari komponen-komponen keluarga,
pengusaha, seniman, ulama, pendidik dan generasi muda. Ibnu khaldun meletakkan aspek keluarga
sebagai aspek pertama yang paling penting menopang komponen masyarakat lainnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga adalah cermin kecil model masyarakat
dan negara. Akan tetapi, potret keluarga Indonesia saat ini masih
memprihatinkan, dimana terjadi disintegrasi yang semakin meningkat, antara lain
karena meningkatnya kasus perceraian.
Kondisi yang ditunjukkan tersebut
menggambarkan tergerusnya nilai-nilai ketahanan dalam sebuah keluarga. Jika hal
ini dibiarkan berlanjut tanpa upaya meminimalisir hal-hal yang bisa mengancam
keutuhan sebuah keluarga maka dampaknya akan mengancam keutuhan masyarakat,
mengingat keluarga sebagai unit sosial terkecil dari masyarakat. Implikasi lebih
lanjut dari keadaan ini adalah terancamnya kualitas generasi bangsa ini. Fakta
menunjukan bahwa ketika keluarga terancam keutuhannya, maka anak adalah anggota
keluarga yang ikut merasakan dampaknya.
Ketahanan keluarga yang lemah menjadi penyebab berbagai krisis keluarga
seperti keretakan keluarga, eksploitasi seksual, penggunaan narkoba,
eksploitasi ekonomi, bahkan pembunuhan pembunuhan anggota keluarga. Anak-anak
sebagai pihak yang paling merasakan dampak krisis keluarga akan mengalami
berbagai hambatan untuk tumbuh dan berkembang. anggota keluarga. Leslie (1967)
mengatakan bahwa anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal
keunagan, emosional, serta kehilangan rasa amandalam keluarga.Dampak perceraian
yang lain adalah adanya rasa malu pada anak-anak yang orang tuanya bercerai.
Mereka cenderung menjadi inferior dengan anak-anak lain.
Pemerintah , organisasi
masyarakat dan anggota masyarakat sipil hendaknya berperan dalam mengembangkan
program untuk ,merangsang dan mendorong langkah-langkah melestarikan dan
mempertahankan institusi perkawinan. Dalam upaya pengokohan keluarga hendaknya
keyakinan agama dan etika dijadikan pijakan dasar dalam setiap regulasi yang
ditujukan untuk untuk menjaga stabilitas keluarga dan kemajuan sosial.
Berbagai keadaan di atas
menunjukkan bahwa degradasi kualitas dan
disintegrasi keluarga berbanding lurus dengan degradasi kuaitas sosial
masyarakat kita. Beberapa masalah sosial yang muncul terutama di perkotaan
akhir-akhir ini, anatara lain meningkatkatnya konflik sosial, karakter
kejahatan, prostitusi, anak jalanan dan endemiknya amuk massa telah menjadi
sebuah masalah sosial yang mengancam ketenangan dan rasa tertib masyarakat
secara luas. Hal ini menyadarkan kita, bahwa keluarga bukan sebuah perkara
privat semata, namun juga menjadi masalah yang harus difasilitasi peningkatan
kualitasnya oleh negara. Sehingga tidak berlebihan jika kita mengharapkan agar
kebijakan publik yang dilahirkan di bangsa ini seharusnya berbasis keluarga,
yakni menjadikan keluarga sebagai pertimbangan utama, sebab landasan pemikiran
mengenai keluarga adalah landasan pemikiran yang bukan hanya berasal dari
nilai-nilai budaya bangsa ataupun nilai-nilai islam yang secara khusus menjadi
dasar pemikiran dalam pembinaan tatanan berkeluarga, tetapi landasan pemikiran
yang sudah mendunia dengan mengacu pada Universal declaration of human rights (art.16.3 ;resolution 217a) yang
kemudian dipertegas lagi pada deklarasi Doha di Qatar pada
desember 2004 yakni bahwa Family is the
natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by
society and the state (keluarga adalah institusi sosial yang alamiah dan mendasar
dan berhak dilindungi oleh
masyarakat dan negara).
Selain kebijakan publik
yang berorientasi pada keluarga, maka
hendaknya program pembangunan bangsa
adalah program yang berorientasi pada keluarga berkualitas.Sebuah hal utopis
jika pemerintah mengekspektasikan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju
peradabannya di masa mendatang tanpa
memberikan perhatian pada perbaikan tatanan keluarga melalui program yang
massif dan terstruktur. Sebab kokohnya tatanan keluarga akan berimplikasi pada
peningkatan kualitas generasi muda dimasa
mendatang yang lahir dari unit sosial yang bernama keluarga. Sejauh ini , keluarga belumlah muncul sebagai sebuah nomenklatur dalam
pembangunan dan belum menjadi sebuah leading
sector dalam struktur pemerintahan. Maka menjadi sebuah kebutuhan jika di
masa mendatang secara definitif keluarga mengemuka menjadi sebuah urusan pokok
dalam pemerintahan agar dapat menjadi fondasi sosial bangsa dalam rangka
pengembangan karakter manusia indonesia yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar