Kendari,, 19 september 2014
... Aku dalam kebimbangan saat anak ke 2ku ihsan umur 4 tahun 10 bulan dan si bungsu fahmi umur 2 tahun 9 bulan aku titipkan pada asisten rumah tangga yang masih keluarga umur 37 tahun ibu satu anak.
Anak2ku memang terawat makannya juga tidurnya,, tapi tidak dengan psikologisnya..
Pasalnya asisten ini punya perangai yang agak "kasar" overprotektif, ditambah satu hal yang prinsipil " tidak menjalankan shalat 5 waktu.
Kebimbanganku cukup beralasan, karena anak-anakku sampai saat ini tergolong cerdas dan mandiri di usianya kini.(Ihsan: telah mampu mengahafal surat alfatihah,an nas, doa makan, doa tidur, menghitung 1 sampai 10 lancar. 1sampai 20 terbata-bata, menggambar, mandiri dalam bertoilet ketika BAB. si Fahmi: telah mampu menceritakan lebih dari 5 kalimat dalam 1x bercerita hingga kefasihannya berbicara layaknya anak umur 4 tahun, bisa menghafal alfatiha terbata-bata, menyayikan lagu naik-naik ke puncak, balonku ada 5, pelangi2, mulai mandiri bertoilet )
Apa jadinya jika selama beberapa bulan kedepan mereka mengecap "pengasuhan yang salah" selama di rumah, karena keadaanku sebagai ibu bekerja, mengharuskanku pulang sore hari???
Allah kepadanya tempat ku mengadukan segala permasalahan>>>
Ku temukan akhirnya sebuah solusi!
ARtikel : Menitipkan anak: pada asisten rumah tanggakah, TPA/day care kah? atau nenek/kakek?
by:Ihsan
Baihaqi Ibnu Bukhari (Direktur Auladi Parenting School)Pembicara Parenting Internasional di 4
negara dan Pembicara Nasional Parenting di 24 Propinsi, lebih dari 70 Kota di
Indonesia (www.auladi.net |
inspirasipspa@yahoo.com)
Ada banyak
orangtua yang melahirkan anak tapi tidak mendidik anaknya. Maaf klo mungkin
dianggap "sadis", tapi jika hanya sekadar memberikan makan atau
menjaga kesehatannya, bukankah hewan juga bisa melakukannya?
Jauh sebelum
saya memilih salah satu pilihan seperti judul di atas, saya ingin mengajak Anda
untuk memberikan jawaban pada diri sendiri tentang pertanyaan klasik: untuk
tujuan apa sepasang orangtua (suami istri) bekerja? Mengapa tidak cukup ayah
saja?Tentu ada banyak jawaban bukan? Tapi saya ingin mengemukakan 4
diantaranya, yang mungkin menjadi jawaban paling sering diajukan para orangtua
ketika diberikan pertanyaan semacam tadi: pertama, Untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang mungkin tak bisa dipenuhi jika hanya suami yang
bekerja. Kedua, untuk aktualisasi diri dan kemandirian seorang
perempuan, misalnya untuk menebar kebaikan dan kemanfaatan sebanyak-banyaknya
di muka bumi. Ketiga, Agar tidak terlalu bergantung kepada suami
sehingga juga dapat turut membantu (mungkin) keluarga dari sang perempuan
(adik, kakak, orangtua, dan lain-lain) dan keempat, selain jawaban
tersebut, yang saya sering dengar dari puluhan ribu orangtua yang pernah
berinteraksi dengan saya dalam kelas-kelas orangtua adalah: demi kepentingan
anak-anaknya sendiri agar kebutuhan anaknya terpenuhi.
Saya tidak
ingin membahas soal perempuan bekerja dari alasan yang pertama hingga ketiga.
Tapi saya ingin membahas yang keempat. .Sebenarnya saya tidak dalam posisi
mendukung atau menentang seorang perempuan boleh atau tidak boleh bekerja. Itu
urusan Anda. Saya hanya ingin mendukung siapapun bisa jadi orangtua terbaik
untuk anaknya, apakah Anda ibu bekerja atau "full time mom". Please
jangan salah menilai tulisan ini sehingga kemudian anda yang merasa ibu bekerja
merasa dihakimi. Tidak, tidak itu maksud saya. Justru saya membuat tulisan ini
hasil curhat dari ibu-ibu bekerja dan ini saya persembahkan untuk mereka akan
mereka kemudian dapat memberikan peran lebih besar untuk anak-anaknya. Jika
bukan untuk ibu bekerja, lah ngapain pake ngomong segala soal "menitip
anak"? Seperti curhat salah seorang mom berikut ini:
“Saat ini
situasi saya adalah saya dan suami mempunyai rumah di Bekasi. Kami berdua kerja
dan tidak ada yang mengawasi putri kami (usia 2 tahun), sehingga mengatasi hal
ini kami melakukan cara yaitu pagi pagi buta putri kami (walau sedang tertidur)
kami "angkut" lalu melakukan perjalanan Bekasi - Jakarta untuk
mendrop anak kami di rumah mertua saya yang berada di Jakarta. Begitu pun
malamnya, di malam gelap kami melakukan perjalanan kembali Bekasi - Jakarta
bersepeda motor dengan membawa anak kami pulang, kami lakukan hal ini setiap
hari.
Saat ini
hanya mertua saja yang bisa kami harapkan untuk mengasuh, selain mertua tidak
bekerja (ibu mertua juga Ibu RT dari dulu), dan orang tua saya (hanya ibu saja)
masih bekerja untuk membiayai adik saya di luar kota. kami tidak bisa tinggal
di rumah mertua, karena di rumah mertua pun sudah terdapat 2 keluarga saudara
suami saya (ponakan saya juga sekalian diasuh oleh mertua saya, sehingga tidak
hanya putri kami saja yang diasuh, masih ada 2 cucu lain), dan situasi ekonomi
yang tidak bisa mengambil kontrakan dekat rumah mertua.
Dari cerita
situasi saya tersebut, sudah terbaca bahwa mungkin situasi itu menimbulkan
"ketidaknyamanan" pada anak saya terutama untuk kesehatan karena
putri kami juga masih terhitung "masih kecil" tuk terus menerus
perjalanan "luar kota" pagi buta dan malam gelap setiap hari dengan
bersepeda motor pula. Namun, hal tersebut mnjadi agak "perbedaan"
antara saya dan suami saya. suami saya menyimpulkan anak saya sdh besar dan
"mampu" untuk beradaptasi atas situasi tersebut.”
Kebetulan,
saya mendapatkan info di dekat komplek saya ada Daycare yang nuansa islami
pula. Saya terpikir untuk menjadikan Daycare ini "pengganti solusi"
dari permasalahan tersebut. Namun, saya masih membutuhkan pandangan dari pihak
ketiga yang sesuai dapat membantu memberikan saya pilihan yang terbaik.”Saya
faham kadang karena alasan tertentu seorang ibu harus bekerja dan tidak bisa
mendampingi anak sepenuhnya, saya pun tidak bisa menentangnya. Tetapi sebelum
memberikan tanggapan pertanyaan semacam ini saya tetap harus mengatakan yang
ideal dari segi kaca mata tumbuh kembang anak adalah seorang ibu saat anak
dalam fase usia dini mendampingi anak-anaknya. Karena tentu akan berbeda
sentuhan orangtua sendiri, darah daging sendiri, dengan sentuhan orang lain
dari segi ikatan emosional. Stimulasi kognitif dan psikomotorik mungkin bisa
didapat dari siapapun, tapi stimulasi emosi orangtua akan berbeda dengan
stimulasi nenek, guru, daycare, apatah lagi pembantu. Karen ini tulisan opini,
maka ideal di sini pastilah ideal dari versi saya. Karena itu bisa jadi sangat
subyektif. Anda boleh menciptakan versi ideal Anda sendiri.
Ya, memang,
meski dengan orangtua pun tak menjadi jaminan bahwa seorang anak akan pasti
sehat, akan pasti cerdas dan sukses di masa depan sebagaimana belum tentu juga
ibu yang bekerja anaknya pasti tidak akan menjadi anak baik, atau tidak akan
menjadi anak shalih dan shalihah. Semuanya memiliki kesempatan sama: menjadi
ayah dan ibu terbaik untuk anak-anaknya. Ayah dan ibu shalih dan shalihah.
Maka,
orangtua yang punya perspektif luas tidak akan pernah mengatakan “anak saya
dititip dengan pembantu, tapi buktinya anak saya baik, anak saya tidak nakal,
anak saya sehat dan anak saya tidak melakukan perilaku buruk apapun.”
Pernyataan yang seolah-olah logis ini adalah seperti mirip orang yang memberi
pernyataan “saya didik dengan kekerasan oleh orangtua saya, tapi buktinya saya
jadi orang sukses, buktinya saya jadi PNS, teman-teman saya yang tidak
pernah dipukul orangtuanya, buktinya tidak jadi apa-apa” atau yang lain yang
lebih mirip “anak saya tidak diberikan ASI, hanya susu formula, buktinya anak
baik-baik saja, sehat dan cerdas!”
Sebab yang
menyebabkan kondisi-kondisi seperti itu tidaklah tunggal. Tidak hanya karena
gizi semata, atau tidak hanya karena stimulasi semata. Model pola asuh anak
sangat menentukan pula, bagaimana karakter anak dibentuk. Bagaimana perilaku
dan perlakuan orangtua pada anak. Jika ibu tidak bekerja, jadi ibu rumah
tangga, dengan judul “full time mom” demi anak, tapi saat ada di dekat anak
tidak menghasil apapun, hanya, lagi-lagi mendampingi anak: ngantar jemput anak
ke sekolah, ngaji anak “outsourcing” ke ustadz dan ustadzah, tidak menemani
anaknya bermain, tidak menstimulasi anaknya, tidak menyediakan waktu membacakan
buku dan cerita, ini juga sama saja, bisa disebut ibu yang melahirkan anak tapi
tidak mendidik anaknya.
Tapi lepas
dari mendukung atau tidak soal ibu bekerja, saya punya kewajiban untuk tetap
memberikan pernyataan berikut ini:
Meski anak
sekolah dan berinteraksi dengan lingkungan, dalam 18 tahun pertamanya
sesungguhnya anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya sekira 85%
hampir di lingkungan keluarga (orangtua, nenek/kakek, pembantu, atau siapapun
yang menghabiskan waktu lebih banyak dalam pengasuhan anak). Maka, karakter
anak tentunya akan lebih banyak dibentuk di lingkungan keluarga. Jika keluarga
tidak mengintervensi, tidak membentuk, tidak menginstall pikiran anak dengan
nilai dan karakter-karakter positif, maka yakinlah akan ada pihak lain yang
melakukannya. Pihak lain itu dapat berbentuk teman sebayanya, lingkungan
pergaulan anak atau pun media seperti televisi.
Jaman dulu,
lepas dari ekspos media, kenakalan remaja tidaklah sedahsyat sekarang. Di
negara-negara Barat saja, ya para tugas para ayahlah yang mencari nafkah. Ibu
ngurus anak, membesarkan anak, mendampingi dan mendidik anak. Sesekali mereka
bekerja di ladang, membantu suami. Jadi anak pun masih terurus. Setelah anak
besar mereka mencari pekerjaan atau bekerja untuk membantu kehidupan keluarga.
Tapi ini berubah setelah era revolusi industri yang bermulai di daratan Inggris
terjadi. Para perempuan mulai turut bekerja ke luar rumah, maka tatanan
berkeluarga pun ikut berubah.
Di negeri
kita, jaman dulu, anak-anak lebih keurus, sore-sore anak-anak masih bisa
ngumpul dengan keluarga di depan halaman rumah, sementara televisi, hanya TVRI
doang, insya Allah itu pun acara bermanfaat. Jaman dulu, no internet, no kabel
tv, no satelit tv. So, jaman dulu, anak kita dibiarkan begitu saja “diliarkan”
masih terasa aman. Dari ujung kampung ke kampung yang lain bakal tahu itu
anaknya siapa.
Semakin
bertambah usia bumi, jaman semakin maju, teknologi semakin berkembang, dunia
seolah tanpa batas, tersebar tv kabel, internet, tv satelit. Lihatlah tayangan
HBO, maaf, ciuman tanpa sensor atau perempuan setengah telanjang muncul tanpa
sensor di negeri ini!Lalu karena fasilitas hidup meningkat, gaya hidup pun
meningkat, kebutuhan meningkat, menyebabkan seolah tidak cukup hanya seorang
laki-laki bekerja. Akibatnya para perempuan keluar rumah bekerja. Tidak di
Barat, tidak di Timur, tidak negeri kita. Maka anak-anak pun dititip-titipkan,
dititip di pembantu, dititip di babysitter. Maaf, seperti anak-anak yatim piatu
yang orangtuanya lengkap bukan?Masih “mending” dititip di daycare atau nenek
dan kakeknya. Sebagian anak ada yang dititip dan menghabiskan lebih banyak
hidupnya dengan pembantu, perawat atau nanny. Ketika yang diberikan kepercayaan
mendampingi anak ini perilakunya tidak positif, akibatnya sebagian anak ini
menghabiskan waktunya lebih banyak di depan monitor televisi atau komputer.
Main game, internet dan tayangan tv. Jika seorang anak lebih banyak
menghabiskan waktu di dekat televisi, game atau internet daripada di dekat
orangtuanya , maka siapa yang akan lebih banyak memengaruhi anak? Media itu
atau orangtua?Kita semua sudah tahu jawabannya bukan? Akibatnya? Di sinilah
mulai hancur peradaban. Kita boleh lihat data dan survei manapun di negara
barat tentang bagaimana perilaku mengkhawatirkan anak dan remaja di jaman
modernisasi ini. Anak-anak yang melakukan seks bebas, kecanduan obat-obatan,
incest, perilaku seks menyimpang, kekerasan anak (bullying).
Anak-anak
“yatim piatu” yang orangtua lengkap dan kehausan “emosi” ini kemudian diatasi
dengan cara: kampanye kondom, kampanye reproduksi sehat, kampanye antinarkoba,
kampanye antibullying!Bukan, bukan, bukan itu tidak bermanfaat. Itu bermanfaat.
Tapi solusi ini seperti efek obat pada penyakit, yang hanya menyembuhkan gejala
bukan penyebabnya! Menyembuhkan demam dengan parasetamol tapi bukan pada pengelolaan
sistem kekebalan tubuh anak yang menyebabkan demam.
Kebutuhan
emosi anak hanya bisa dipenuhi oleh perbuatan emosional pula! Dari orangtua
sendiri. Bukan dipenuhi dengan mainan, jajanan, makanan, handphone dan
benda-benda materi. Karena itu bukan kampanye antinarkoba, bukan kampanye
reproduksi sehat, bukan antibullying, tapi kampanyekan para orangtua untuk
kembali NGURUS keluarganya! Ngurus bukan sekadar memberi makan dan perlindungan
tubuh semata tapi juga emosi, jiwa atau mentalnya. Jika para orangtua ngurus
keluarganya, semua kampanye tadi: antinarkoba, kesehatan reproduksi atau
apapun, bukankah seharusnya juga bisa dilakukan oleh orangtua?Ketika bicara
soal ngurus keluarganya, saya tidak bicara hanya tugas ibu. Ayah juga.
Kewajiban ayah bukan hanya mencari nafkah tapi juga mendidik anaknya. Jika
seorang ibu adalah madrasah untuk anak, maka ayah adalah kepala sekolahnya.
Lihat kitab suci agama, ketika bicara anak, maka yang dibicarakan ayah, bukan
ibu. Meski secara teknis mungkin sebagian anak menghabiskan waktu dengan ibunya
karena ayah bekerja, tetap saja ayah seharusnya punya “konsep” bagaimana
anaknya dibesarkan dan dididik. Apakah ketika seorang ayah sudah mencari
nafkah, menggugurkan kewajiban ayah yang lain yaitu mendidik anak? Apakah
ketika kita sudah sholat gugur kewajiban kita yang lain, misalnya membayar
zakat dan shaum Ramadhan?Karena itulah, mungkin itu pula yang menyebabkan
sebagian besar perempuan di Jepang, dulu, akan berhenti bekerja (sementara)
ketika melahirkan anak sampai anak-anak ini masuk usia sekolah. Lalu mereka
akan bekerja kembali setelah anak sekolah, itu dengan sebuah sistem yang
disebut dengan “arubaito” semacam sistem kerja freelance atau paruh waktu. Ya
setidaknya dari kunjungan dan perhatian “sebentar” saya di Tokyo, Osaka dan
Nagoya. Entahlah dengan perubahan modernisasi sekarang. Apakah kebiasaan
perempuan Jepang ini masih berlaku atau tidak.
Karena itu
pula saya setuju jika pada usia 7 tahun ke bawah seperti yang dikatakan Ali bin
Abi Thalib, “jadikan anak seperti raja”, dididampingi, dimuliakan, diberikan
perhatian penuh. Saya juga setuju jika ada orangtua mengatakan “saya tidak akan
pernah menitipkan anak pada siapapun, karena tidak ada yang lebih baik dari
orangtua sendiri”.
Saya pun
termasuk yang tidak ridlo, anak saya bisa membaca Qur’an, bisa membaca huruf
latin pertama kali dari orang lain. Dimana dong peran dan ladang amal saya
sebagai orangtua kalau semuanya “outsourcing”? Stimulasi kognitif outsourcing
ke sekolah, stimulasi motorik outsourcing ke guru TK, belajar ngaji outsourcing
ke ustadz dan ustadzah.
Tapi, saya
tidak bisa memaksa semua orangtua seperti saya dan punya pikiran seperti saya
bukan? Saya juga tidak bisa menyamaratakan keadaan dan latar belakang semua
orang bukan?Karena itu meski idealnya seorang ibu mendampingi lebih
banyak anaknya pada usia tertentu, terutama fase “golde age”, kadang dengan
berbagai latar belakang, keadaan tidak selalu ideal yang kita inginkan bukan?Pertanyaannya,
jika karena keadaan tertentu membuat seorang ibu harus bekerja, lalu siapakah
yang akan mendampingi anak tumbuh besar? Tiga kemungkinan besar biasanya
adalah:
- Menitipkan anak pada asisten rumah tangga (pembantu) di rumah, atau “outsourcing” dengan tetangga sebelah yang mau dititipkan
- Menitipkan pada kerabat: nenek/kakek, tante, saudara, adik atau kakak yang tidak bekerja
- Menitipkan pada orang atau lembaga profesional: seperti daycare atau tenaga pendidik profesional yang khusus disewa untuk menstimulasi anak
Yang jelas
saya tidak akan pernah merekomendasikan yang nomor 1. Sebab lagi-lagi tugas
mereka hanya “menjaga” bukan mendidik. Tugas mereka hanya memastikan anak aman
dari bahaya dan makannya terpenuhi tapi belum tentu mentimulasi anak-anak ini.
Masih lebih baik jika anak dibiarkan bermain untuk menstimulasi kecerdasannya,
tapi bagaimana jika si pengasuh ini overprotectif? Sayang sekali jika anak yang
dijaga pihak no 1 ini kerjaannya hanya diberi makan, ditidurkan, disimpan di
depan televisi.
Bagaimana
dengan pilihan menitipkan anak pada kerabat? Terutama yang sering terjadi
adalah pada nenek/kakek anak-anak kita?Pilihan menitipkan anak pada nenek dan
kakek insya Allah menjadi baik tapi dengan berbagai syarat:
- Nenek/kakek termasuk orang yang bisa diajak kompromi soal pendidikan anak, mudah diajak berdiskusi soal pendidikan anak, memiliki pengetahuan luas soal pendidikan anak sehingga memiliki batasan-batasan yang jelas (tidak overprotectif, tidak terlalu mengekang juga tidak terlalu memanjakan).
- Pengawasan dan pendampingan pada anak kecil yang membutuhkan energi lumayan tidak sampai mengganggu kesehatan nenek/kakek.
- Untuk ukuran orang yang sudah sepuh, nenek dan kakek seharusnya bisa didampingi asisten (perawat, asisten rumah tangga) untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan nonstimulasi atau yang membutuhkan energi banyak: mengganti popok, mencuci popok, memberi makan, jika tidak umumnya mereka bakal kewalahan (nenek/kake + pengasuh).
- Keinginan dari nenek/kakek yang memang sangat senang dengan anak-anak dan sangat menikmat kebersamaan dengan cucu-cucunya (mereka sendiri yang ikhlas atau menginginkannya setelah diajak bicara).
Karena itu,
jangan sampai pilihan menitipkan anak pada nenek dan kakek itu menyebabkan
kemungkinan yang jika diungkapkan dalam bahasa negatif “dulu mereka membesarkan
kita dengan susah payah, masak di usia sekarang masih juga dikerjain oleh kita
anaknya, untuk ngurus cucu-cucunya”.
Jika salah
satu syarat tadi tidak dipenuhi, apalagi nomor empat, saya sama sekali tidak
merekomendasikan untuk menitipkan anak pada nenek/kakek dan mungkin saya lebih
setuju jika pilihan menitipkan anak pada daycare atau pembantu. Meski tetap
harus dipilih dan dipilah agar jangan sembarangan daycare dipercaya untuk
menitipkan anak.
Meski bukan
yang ideal seperti orangtua, daycare bisa jadi pilihan baik lain selain
nenek/kakeknya karena dengan beberapa alasan yang sering disebutkan:
- Pengawasan dan pengasuhan oleh profesional (psikolog, perawat, dll) yang memahami tumbuh kembang anak
- Makanan terjamin, karena dengan tenaga profesional tadi sudah terstruktur pula pemenuhan nutrisi anak selama berada di lingkungan daycare
- Anak mendapatkan stimulasi atau rangsangan tumbuh kembang (kognitif, emosi dan psikomotorik)
- Anak belajar bersosialisasi dan kemandirian (seperti toilet training yang konsisten, bermain dengan teman yang sering, dan lain-lain)
- Minimum kontaminasi media televisi
- Stimulasi nilai-nilai positif: agama, karakter dll.(story telling, eksplorasi bermain, games, dll)
Beberapa
hambatan orangtua untuk menitipkan daycare atau sering disebut kendala, yang
sering disebutkan orangtua antara lain:
1. Masalah
kekhawatiran soal kesehatan, misalnya khawatir anak mudah tertular penyakit
karena setiap hari berinteraksi dengan anak yang lain
2. Masalah
ketidaknyamanan dan kekhawatiran karena anak dititip dengan bukan keluarga
sendiri
3. Masalah
finansial. Menitipkan anak di daycare membutuhkan pengeluaran lebih dan ini
akan menguras keuangan, tidak hemat, baik untuk tranpsort antar jemput maupun
biaya daycare itu sendiri
Alasan yang
pertama, sebenarnya alasan yang tidak beralasan. Maksud saya bakteri dan kuman
itu bisa jadi ada di manapun. Ada pada tanah, ada pada pohon, ada di meja,
kursi, ada pada tempat cuci piring.
Ini persis
seperti orangtua yang khawatir anaknya sakit jika hujan-hujanan. Apakah air
hujan itu yang menyebabkan anak sakit? Tanya dokter manapun, bukan hujan yang
menyebabkan anak sakit tapi masalah kekebalan tubuh anak yang tengah lemah dan
kebetulan hujan-hujanan itulah yang menyebabkan anak sakit. Jika hujan dapat
menyebabkan sakit, pastilah semua orang yang kena hujan akan sakit! Tapi apakah
semua orang yang kena hujan pasti sakit? Tidak bukan?
Kecuali
benar-benar anak-anak lain itu memiliki penyakit menular yang berbahaya dan
potensial untuk ditularkan, yang lainnya seharusnya tidak menjadi kekhawatiran,
sebab jika anak kekebalan tubuhnya memang kuat, tidak mudah dia terserang
penyakit bukan? Lagi pula tenaga profesional yang tadi disebutkan tidak mungkin
tidak mengantisipasi soal hal ini.
Alasan kedua
soal ketidaknyamanan adalah hal yang tak juga perlu dikhawatirkan. Sebab
siapapun pada awalnya anak akan mengalami apa yang disebut “separation anxiety”
kecemasan berpisah dengan orangtuanya. Tapi seiring dengan berjalan waktu,
ketidaknyamanan anak ini sebenarnya yakinlah akan hilang. Persis seperti anak
yang ditinggalkan bekerja pertama kali oleh orangtua yang nangis dan mungkin
histeris. Tapi jika orangtua konsisten, nangis dan teriak anak ini tidaklah
berlangsung seterusnya. Silahkan baca tulisan saya yang lain tentang
“separation anxiety” ini.
Alasan
ketiga soal hambatan finansial, ini yang serius. Jika ayah dan ibu bekerja
memang demi anak-anak, lalu mengapakah lagi kita masih berpikiran soal hemat?
Uang yang dihasilkan itu kan untuk anak juga, jadi wajar pula jika uang yang
dihasilkan itu salah sebagiannya diinvestasikan untuk anak. Meski tetap
harus dikelola porsinya.
Terdengar
klise memang, tapi ini benar dan fakta di lapangan di sekitar kita, tidak
sedikit menunjukkan kebenaran itu. Banyak orangtua demi masa depan
anak-anaknya, agar anaknya sukses, mereka bekerja keras membanting tulang,
mengorbankan waktu, sehingga sampai tak punya waktu untuk anak-anaknya,
menelantarkan anak-anaknya. Tapi yang terjadi setelah masa depan itu datang,
setelah orangtua ini renta, anak ini memang sukses, tapi banyak anak ini
ternyata menelantarkan orangtuanya.
Maka saya
sering berkata untuk para orangtua yang sepasang bekerja (ayah dan ibu), please
deh, investasikan sebagian uang Anda juga untuk tumbuh kembang anak dengan
serius. Gaji punya, tapi anak hanya difasilitasi pembantu. Jika Anda bekerja ya
jangan hanya pembantu, jika tidak menitip di day care, kalau perlu rekrut orang
tenaga pendidik, lulusan paud, lulusan PGTK dll untuk menstimulasi anak di
rumah dengan gaji profesional. Seperti berlebihan, tapi tanya pada diri kita
sendiri, apakah uang yang kita dapatkan dari hasil kerja kita hanya bekerja
untuk kepuasan kita sendiri, untuk keluarrga, kedua-duanya atau untuk apa lagi?
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar