Selasa, 10 Februari 2015

Keshalehan & prefesionalisme

Kendari, 10 februari 2015


Alangkah berwarnanya hidup jika keshalehan & prefesionalisme terpadu dalam karakter seseorang






 Keshalehan & Profesionalisme
Al-Quran mendorong Muslim agar produktif. Dalam Al-Quran, sangat banyak subjek tentang kerja. Sebanyak 360 ayat membicara-kan tentang amal. Sementara seratus sembilan ayat membicarakan tentang fi’il. Amal dan fi’il sama-sama bermakna kerja dan aksi. Selain amal dan fi’il, sangat banyak juga muncul secara ekstensif kasaba, baghiya, sa’aa, jahada, yang kesemuanya menekankan juga pada aksi dan kerja. Oleh karena itu, tampak Al-Quran menyiratkan betapa pentingnya kerja kreatif dan aktivtas yang produktif.
Al-Quran sangat menentang tindakan-tindakan yang tidak produktif. Hal ini ber-kaitan erat dengan waktu. Oleh Al-Quran manusia diseru untuk mempergunakan waktu sebaik mungkin. Caranya dengan menginvestasikan waktu; mengisinya dengan tindakan-tindakan positif dan kerja produktif. Manusia yang tidak memperguna-kan waktunya dengan baik termasuk dalam golongan yang merugi.
Islam selalu menyeru manusia untuk senan-tiasa bekerja dan berjuang. Islam melarang segala bentuk kemalasan dan pengangguran. Muslim yang aktif bekerja adalah orang terhormat. Seorang Muslim pekerja bahkan diberi kelonggaran tertentu dalam beribadah agar dapat bekerja dengan baik. Misalnya, Al-Quran menghapus kewajiban shalat tahajud. Hal ini memberi kesempatan bagi umat Islam melakukan kegiatan bisnisnya pada siang hari dalam keadaan segar bugar. Lebih lanjut, Al-Quran memberi pedoman: siang hari itu adalah waktu dan sarana untuk bekerja mencari penghidupan.
Oleh karena itu, kerja manusia dapat disebut sebagai sumber nilai yang riil. Jika seseorang tidak bekerja, maka dia tidak akan berguna dan tidak memiliki nilai. Ungkapan ini telah diproklamasikan Islam sejak belasan abad silam. Dalam pandangan Al-Quran, kerja (amal) menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupannya. Sebagai-mana diungkap di dalam QS Al-Anam ayat ke-132, “Dan tiap-tiap orang memperoleh derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” Atau dalam QS Al-Ahqaaf ayat ke-19, “Dan setiap mereka mendapat derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan atas) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tidak dirugikan.” Kerja, oleh karena itu, adalah satu-satunya kriteria – di samping iman – yang menentukan apakah manusia berhak mendapatkan pahala.
Demikianlah Al-Quran selalu mendesak manusia untuk bekerja. Al-Quran menawar-kan insentif-insentif kepada manusia agar senantiasa memiliki aktivitas yang positif, bekerja keras, dan berjuang. Insentif-insentif itu berupa pahala berlimpah, pertolongan, dan petunjuk Allah. Dalam banyak ayat, segala insentif atau penghargaan (reward) itu juga ditujukan agar manusia senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas (hasil) pekerjaanya: produktivitas. Oleh karenanya, Al-Quran juga menyeru agar manusia ber-upaya memiliki (melatih) kemampuan fisik-nya sebagai salah satu modal dalam bekerja.
Dalam situasi normal tidak seorang pun diperbolehkan untuk meminta-minta atau menjadi beban kerabat atau sahabatnya, bahkan negaranya sekalipun. Al-Quran sangat menghargai mereka yang berjuang untuk mencapai dan memperoleh karunia Allah. Termasuk di sini segala macam sarana kehidupan. Rasulullah mengajarkan sebuah doa pada umatnya setiap keluar dari masjid, “Ya Allah! Saya mohon karunia-Mu.” Doa ini merupakan peringatan dan sekaligus pendorong bagi umat Islam untuk selalu mencari dan berjuang mendapatkan sarana hidup. Etika Islam, menurut Al-Faruqi, menentang segala bentuk meminta-minta. Etika Islam juga menentang cara hidup seperti parasit; memakan keringat orang lain. Islam menghargai perilaku bekerja dengan giat dan mengutuk perilaku menganggur.
Rasulullah Saw menyatakan bahwa orang yang mencari nafkah hidupnya untuk dirinya sendiri dan untuk saudaranya yang terus beribadah sepanjang waktu, lebih baik daripada saudaranya yang hanya beribadah dan tidak bekerja itu. Memang ada pernyata-an Allah bahwa para pengemis dan orang-orang miskin memiliki bagian dari harta orang-orang kaya. Namun, Allah menyata-kan hal tersebut berlaku jika benar-benar mereka adalah orang yang berhak mendapat-kannya. Hal ini bukan berarti mereka men-dapat lisensi untuk selamanya tetap ber-pangku tangan dan menjadi tanggungan masyarakat.
Suatu ketika seorang sahabat yang miskin mendatangi Rasulullah untuk meminta haknya. Rasulullah menyuruh dia pergi untuk mengambil kayu lalu menjualnya agar kebutuhan hidupnya terpenuhi. Rasulullah ingin mengajarkan bahwa betapa pun seorang yang miskinmemiliki hak atas sebagian harta orang-orang kaya, tetapi bekerja keras dengan tangan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah jauh lebih baik.
Demikianlah bekerja dengan serius dan professional adalah sebuah ajaran dan bahkan kewajiban. Bekerja dan bertindak dengan profesional adalah bukti rasa syukur sekaligus pertanggungjawaban manusia sebagai khalifatullah di muka bumi. Adalah sebuah kekeliruan mendikotomikan saleh dan professional. Apa lagi menjadikan kesalehan sebagai alasan sebuah ketidakprofesionalan. Misalnya, terlambat ngantor karena shalat duha, mengantuk saat bekerja karena tahajud semalam, mengeluh lemas karena berpuasa. Segala ketidakprofesionalan itu sebenarnya berangkat dari peyorasi atau disposisi makna saleh dan profesional.***



(di tambah kutipan  dari talenta ihsan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar