Terinspirasi dengan ungkapan Hasan al bashri, seorang
ulama tersohor dengan sikap zuhudnya, saat berbagi rahasia kebahagiaan hidup. “ Pertanggungjawaban
perbuatan saya diakhirat tidak akan mungkin dipikul orang lain, sehingga saya
harus menyibukkan diri dengan amalan. “Kematian akan mendera kapan saja, entah
pada waktu apa dan kapan, sehingga saya harus sibuk menyiapakan diri
menghadapinya. “ bagian rezeki saya tidak akan mungkin diambil orang lain,
sehingga saya menjadi tenang karenanya.
Merasa
cukup dengan amalan-amalan ibadah yang selama ini dijalani rasanya tidak cukup
menjadikan kita sebagai seseorang yang punya visi dalam hidup. Visi akhirat haruslah lebih
tinggi untuk terpatri dalam niat agar seseorang tidak merasa cukup dengan
amalan yang ada sehingga berupaya meraih persetasi tertinggi dalam mengejar
amalan tertinggi. Siapa yang bisa menjamin keistiqomahan seseorang untuk tidak
larut dalam gemerlapnya godaan dunia dengan cukup merasa puas dengan
amalan-amalan yang biasa. Maka tak heran jika dibanyak tempat para pejabat
melaksanakan sholat lima waktu tetapi pada saat yang sama melakukan korupsi.
Maka penting untuk menancapkan visi akhirat dan mencari berbagai cara yang
mendekatkan kita pada usaha untuk mencapai visi itu. Jika visi sudah
ditancapakan maka tingga keistiqomahanlah yang diperlukan untuk menguji
komitmen terhadap visi tersebut. Sehingga tidak merasa puas dengan
amalan-amalan yang biasa-biasa, sholat , puasa pada bulan ramadhan, zakat, naik
haji, hidup adem ayem tanpa rasa dengki dan iri pada tetangga, haruslah menjadi
bagian dari niat agar amalan-amalan biasa bukan lagi sekedar menggugurkan
kewajiban tetapi suatu kebutuhan yang tanpanya hidup bagaikan jasad tanpa ruh.
Menjadikan amalan-amalan wajib sebagai suatu kebutuhan menjadikan seseorang gembira hatinya taktala
melaksanakan perintah Allah. Sedangkan menambah semangat untuk mengejar
amalan-amalan sunnah dan istiqomah untuk amala-amalan sunnah adalah bagian dari
misi yang mengantarkan kita untuk mencapai visi akhirat. Amalan-amalan sunnah
harus ada yang dijadikan amalan unggulan seseorang agar menjadilah ia
manusia istimewa yanag punya prestasi
akhirat. Mengapa enggan untuk menancapakan setinggi-tingginya visi akhirat
padahal batapa maha baiknya Allah pada kita dengan memberikan karunia yang
banyak. Begitu besarnya karunia Allah pada manusia yang bahkan walaupun habis
seluruh air laut untuk dijadikan tinta menuliskan karunia Allah , tidak akan
pernah akan mampu menuliskan seberapa besar karuniaNya pada hambaNya.
Mengapa
orang-orang palestina yang setiap saat nyawanya terancam dengan kematian yang
disebabkan karena gempuran senjata, dan bom orang-orang Israel, tidak
menjadikan mereka tertegun menerima nasib? Yang ada adalah mereka semakin
gencar mendidik anak-anaknya menghafal Quran, sehingga tidak mengherankan anak
belasan tahun dipalestina mampu menghafal berjuz-juz alquran, bahakan ada yang
hafal 30 juz Quran.
Maka
nikmat mana lagi mana yang kamu dustakan?(Qs. Ar.Rahman,ayat 13). Kita hidup di Negara tanpa perang, tanpa konflik
berkepanjangan, tanpa wabah kelaparan dan penyakit menular. Sebaliknya kita
hidup dengan karunia alam melimpa, laut menyediakan aneka ikan yang bergizi,
tanah nan subur yang menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Di pedesaan nan indah
terhampar sawah menguning dengan riuh kicauan burung bernyanyi, sungai meliuk
diantara pegunungan nan elok menghijau. Pepohonan berjejer dikaki gunung dengan
udara segar menentramkan. Kota dengan menara menjulang tinggi kokoh memberi
nuansa modern dan canggihnya peradaban, yang perlahan Negara kita mulai
berbenah mensejajarkan dengan negri lain yang lebih maju. Penduduk bebas
mencari nafkah, tanpa rasa khawatir meninggalkan keluarga, karena majunya
transportasi dan telekomunikasi yang siap menghubungkan dengan bebas roaming,
tanpa perlu was-was pesannya sampai atau tidak seperti waktu masih jaman ngirim
surat. Dengan semua karunia yang indah tersebut mestinya semakin besar rasa
terima kasih kita pada Allah pemberi nikmat.
Rasanya
tak akan ada nilai keunggulan manusia jika amalannya datar-datar saja, tak ada
keunggulan disatu sisi. Seorang sahabat dimasa rasulullah yang pernah diikuti
sahabat nabi yang lain karena penasarannya mengapa rasulullah menyebutnya
sebagai seorang yang akan menghuni syurga mengungkapkan bahwa amalan shalatnya,
puasanya biasa-biasa saja, ternyata ada
amalan unggulannya yang lain yaitu tidak
menyimpan sedikitpun kebencian pada orang lain bahkan pada orang yang pernah
menyakitinya sekalipun.
Mengapa
tak terpatri tekad untuk mempelajari islam melalui majelis-majelis ilmu atau
tarbiyah ? Padahal banyak waktu luang disela kesibukan kita dan majelis ilmulah
salah satu sarana yang akan membuat nama kita disebut-sebut malaikat, serta
merasakan nikmat ketenangan hati. Wow,,,,, dahsyatnya si ahli majelis , yang tiap pekan
disebut-sebut malaikat di hadapan Allah.
Mengapa
tak menancapkan niat untuk menghafal Quran, padahal lebih banyak waktu buat
ngerumpi dan mengasyikkan diri dengan refhresing?. Seandainya kita tahu bahwa
penghafal quran jasadnya tidak termakan oleh tanah, dan dapat memberi syafaat
pada 40 anggota keluarganya, alangkah beruntungnya. Setidaknya bisa mengurangi
kesedihan penghafal quran akan nasib saudaranya yang tak kunjung mendapatkan
hidayah untuk melakukan ketaaatan pada Allah. Subhanallah, manisnya nasib si
Penghafal Qur’an.
Mengapa
tak tergores kata di dalam kalbu untuk membiasakan tahajud jadi amalan utama.
Bangun malam susah untuk sholat, tapi nonton film seru tidak membuat mata
menyipit karena ngantuk, meski sudah larut. Waktu shalat tahajudlah tempat
paling tepat terijabahnya doa. Manusia dengan berbagai obsesi tentu butuh sandaran yang menguatkan dia dan
mengoptimiskan dia akan berbagai impian, serta tempat mengadu yang Maha
mendengarkan segala doa. Kepada siapa lagi ada tempat bersandar seperti ini,
selain pada Allah aza wajalla.
Ya
Allah, Patutkah saya tidak berterimakasih dengan karuniaMu yang begitu besar
pada diriku, keluargaku, dan rasa aman yang mengayomi segenap jiwa raga dengan
hanya menjadikan diriku muslim yang biasa-biasa saja? . Apakah aku pantas
bertemu para ummahatul muslimin yang kedudukannya begitu mulia jika saya tidak
memiliki amal unggulan yang “tidak biasa”. Allah, terkadang perenungan tentang
besarnya KaruniaMu tidak aku rasakan , sampai aku melihat hambaMu yang lain
yang Engkau uji dengan tidak sempurnanya fisiknya. Seperti di suatu pagi di
angkot dalam perjalanan menuju Kendari,
ketika saya bertemu dengan seorang nenek yang memangku cucunya dengan
mata kiri tidak normal, dengan taksiran usia 3 tahun lebih, aku langsung
teringat ke 3 anak-anakku , yang semuanya normal alhamdullilah. Terharu aku mengingat betapa besar karunia
Allah padaku. Anak-anak sehat yang lincah dan tumbuh normal.
Sahabat
Nabi SAW, Ibnu Abbas ra, yang telaten
dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus
didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal
Alquran dan telah menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para
tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud
dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 kunci kebahagiaan dunia,
yaitu: hati yang selalu bersyukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh,
lingkungan yang kondusif untuk iman kita, harta yang halal dalam hidupnya,
tafakku fi dien (semangat untuk memahami agama), serta umur yang barokah.
Meramu pesan ulama tersebut, tersimpulkan satu muara
bijak bahwa Kebahagiaan hidup yang hakiki adalah pada ketenangan hati yang memperolehnya
tentu tidak muda, perlu membiasakan dengan amal sholeh serta menancapkan tekad
untuk komitmen menjaga amalan-amalan sunnah
, karena beribu orang dengan berjuta materi, harta, kemewahan dan
jabatan hidup dalam kegalaauan. Ketenangan hati dengan membuat hati menjadi
“hidup” akan menjadikan semua persoalan hidup menjadi mudah dihadapi seberat
apapun. Apalagi hidup di dunia yang penuh dengan ujian , tentunya diperlukan
kelapangan hati menghadapi segala ujian apapun. Hati yang “hidup “ adalah hati
yang selalu dipenuhi cahaya nikmat islam dan imananya Kepada Allah dan
rasulNya.
Jangan
menunda berbagai upaya untuk” menghidupkan hati” apalagi jika berpikir nanti di
usia “ bau tanah” baru membaguskan amal. Sebab umur tak ada yang tahu kapan
habis jatahnya. Akan ada penyesalan bagi orang tua yang masa mudanya tidak
diisi dengan upaya “ menghidupkan hati”, ia pada masa tuanya akan banyak
bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuannya (post-power syndrome).
Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk
akhirat maka semakin tua semakin rindu ia dengan Sang pencipta. Hari-harinya dipenuhi
dengan bermesraan pada Sang Pencipta. Tidak ada rasa takut untuk meninggalkan
dunia ini, dan inilah implikasi dari seseorang yanag masa mudanya punya visi
akhirat yang tinggi, selalu punya “hati yang hidup” dalam episode kehidupannya
hingga ajal menjemput. Teringat
dengan perkataan seorang teman di akunku facebook, “kebanyakan orang
mati-matian mengejar gelar master, doctor, Profesor, tapi tak sibuk
mempersiapkan gelar tertinggi yaitu” almarhum”
Wallahu alam bishawab
(Dari renungan dan pengalaman diri untuk
menguatkan visi yang tak mudah untuk diistiqomahi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar